Thursday, September 20, 2018

Interprestasi Puisi : "Dalam Gelombang"

Dalam Gelombang
Oleh : Sutan Takdir Alisjahbana

Alun bergulung naik meninggi,
Turun melembah jauh ke bawah,
Lidah ombak menyerak buih,
Surut kembali di air gemuruh.

Kami mengalun di samudra-Mu
Bersorak gembira tinggi membukit,
Sedih mengaduh jatuh ke bawah,
Silih berganti tiada berhenti.

Di dalam suka di dalam duka,
Waktu bahagia waktu merana,
Masa tertawa masa kecewa.

Kami berbuai dalam nafasmu,
Tiada kuasa tiada berdaya,
Turun naik dalam 'rama-Mu.

- - - - - 

MAKNA PUISI

Puisi "Dalam Gelombang" di atas merupakan salah satu karya dari Sutan Takdir Alisjahbana. Setelah membacanya, kita bisa mengetahui makna yang ingin disampaikan oleh penulis melalui puisi tersebut. Berikut penjelasannya.

Pada bait pertama puisi, terdapat kalimat, "Alun bergulung naik meninggi," yang diikuti oleh kalimat, "Turun melembah jauh ke bawah." Kedua kalimat itu menggambarkan kehidupan. Hal ini terlihat dari frase "naik meninggi"dan "jauh ke bawah", yang secara umum mendeskripsikan jalannya kehidupan yang tidak pasti. Perputaran roda kehidupan yang terkadang ada di atas dan terkadang ada di bawah, hal tersebutlah yang ingin digambarkan penulis di bait pertama.

Bait kedua puisi tersebut dibuka dengan kalimat, "Kami mengalun di samudra-Mu." "Mu" yang disebut di sini merujuk kepada Tuhan. Penulis menggambarkan kehidupan sebagai sebuah samudra yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, yang harus diarungi oleh manusia sepanjang hidupnya. "Bersorak gembira"dan "sedih mengaduh" menceritakan kehidupan yang penuh suka dan duka. Sementara "silih berganti tiada henti" menjelaskan kontinuitas sebuah perjalanan hidup yang tidak akan putus hingga waktu ajal menjemput. Perputaran kehidupan ini pun kemudian dilanjutkan penggambarannya di bait ketiga dari puisi tersebut.

Bait terakhir puisi di atas merupakan ekspresi kepasrahan yang ingin disampaikan penulis. Mengapa begitu? Di dalam bait tersebut tertulis kalimat, "Kami berbuai dalam nafas-Mu," lalu disusul oleh kalimat selanjutnya, "Tiada kuasa tiada berdaya." Kedua kalimat tersebut menyatakan ketidakberdayaan manusia tanpa Tuhannya, karena Tuhan Yang Maha Esa-lah yang mengatur jalan kehidupan manusia. Semua orang pasti membutuhkan bantuan Tuhannya, dan dalam bait ini, penulis menuliskan kerapuhan tersebut, tentang bagaimana dalam kehidupan ini manusia dituntut untuk terus mengingat Tuhannya.

Puisi Kontemporer

Puisi kontemporer adalah jenis puisi modern yang secara tatanan dan bahasa lebih tidak terikat daripada puisi jenis lama. Karakteristik yang menonjol dari puisi kontemporer terletak di gaya bahasa yang dipakai dan adanya tipografi atau tatanan kata yang menyimbolkan makna tertentu dari puisi tersebut.

Di bawah ini adalah salah satu contoh dari puisi kontemporer.

MAUNYA SIAPA?
Oleh : Nawwaf Zahra


Ada
Tiada
Maunya apa?


Pergi, kau pergi
Datang, kukembali
Mengorbankan rasa perih
Membohongi lara hati


Maunya siapa?
Bila aku masih menunggu
Sementara kau diam meragu
Kelu
Malu
Teringat bahwa waktu
Tak bisa lagi disebut dahulu


Pergi
Kembali
Kau kembali pergi
Aku pergi dan kembali
Tak tahu maunya siapa
Aku pun masih menunggu